Pada tulisan sebelumnya kita telah membahas mengenai Grameen Bank, termasuk latar belakang pendirian hingga peranannya dalam meningkatkan kesejateraan masyarakat pedesaan di Bangladesh. Untuk kesempatan kali ini, kita akan mengulas tentang eksistensi microfinance di Indonesia/enterprises atau institusi microfinance.
Secara umum, microfinance digambarkan sebagai suatu instrumen layanan keuangan yang terdiri dari beberapa model, yang ditujukan secara khusus untuk membantu masyarakat berpenghasilan rendah.
Adapun model layanan keuangan ini terdiri dari jasa pinjaman lunak dengan/tanpa jaminan tertentu, serta jasa layanan lain yang tidak ditawarkan oleh institusi keuangan konvensional (Consultative Group to Assist the Poor (CGAP). A Guide to Regulation and Supervision of Microfinance, Consensus Guidelines, October 2012).
Sedangkan misi utama microfinance di Indonesia adalah menyediakan dana bantuan kepada masyarakat berpenghasilan rendah (microcredit), sehingga mampu:
- menjadi sarana pengentasan kemiskinan dan kelaparan.
- mewujudkan pendidikan sesuai dengan cita-cita universal.
- mempromosikan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan.
- mengurangi tingkat kematian bayi dan meningkatkan perbaikan gizi.
- memerangi keterjadian penyakit.
- mengembangkan jiwa kewirausahaan.
Misi microfinance di Indonesia yang disebutkan diatas juga sesuai dengan salah satu tujuan besar dalam program the Sustainable Development Goals (SDGs), terutama tujuan pertama, yakni mengeliminasi kemiskinan dalam berbagai bentuk diwilayah manapun.
Diberbagai negara, microfinance di Indonesia menggunakan bentuk usaha yang beraneka ragam. Beberapa diantaranya memakai istilah bank perkreditan rakyat (rural bank), sementara yang lain mengambil bentuk koperasi (co-operative). Ada pula institusi bisnis yang menempatkan usaha ini sebagai salah satu unit bisnisnya, misalnya dengan nama unit perkreditan rakyat.
Dalam tataran konsep, entitas microfinance hadir sebagai media yang menutupi kekurangan institusi keuangan lain (perbankan) dalam memberikan layanan kepada masyarakat. Seperti kita ketahui bersama, untuk dapat memperoleh dana pinjaman, institusi perbankan biasanya menetapkan berbagai persyaratan yang terkadang tidak mampu dipenuhi oleh calon nasabah, terutama yang memiliki keterbatasan aset atau penghasilan.
Hadirnya unit usaha microfinance mampu menjadi alternatif bagi mereka yang berasal dari lapisan ekonomi kelas bawah untuk memperoleh pinjaman, sebab entitas ini cenderung menerapkan syarat-syarat yang lebih mudah dan prosedur yang lebih sederhana. Namun perlu dicatat bahwa dalam praktiknya, tidak sedikit entitas microfinance yang melenceng dari misi utamanya dan berubah menjadi bisnis komersial.
Ciri utama yang menjadi pembeda antara entitas microfinance dengan layanan perbankan adalah pada keterbatasan dana pinjaman yang bisa disalurkan. Hal ini wajar, sebab modal yang dimiliki oleh microfinance di Indonesia biasanya memang tidak tergolong besar. Sementara ciri yang lain adalah kemudahan dalam penyaluran dana pinjaman.
Lebih jauh, terdapat bermacam argumentasi mengenai keberadaan dan manfaat institusi microfinance. Beberapa kalangan mengapresiasi peran entitas ini, tetapi tidak sedikit pula yang pesimistis.
Sebuah studi yang dilakukan oleh the International Monetary Fund (IMF) menyebutkan beberapa hal yang menyebabkan terjadinya pro dan kontra atas peran microfinance di Indonesia. Dalam studi tersebut IMF memetakan alasan-alasan yang mendasari perbedaan pendapat yang terjadi.
Pendapat yang mendukung institusi ini memiliki beberapa alasan, diantaranya:
- layanan yang disediakan oleh institusi microfinance mampu memberdayakan masyarakat, terutama yang berasal dari kalangan berpenghasilan rendah.
- pola pinjaman yang disediakan oleh entitas ini (microfinance loans) memungkinkan nasabah menentukan besarnya pinjaman secara lebih fleksibel sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan melunasi.
- apabila dana pinjaman bisa kembali tepat waktu, ini bisa menjadi indikasi awal yang menunjukkan telah terjadi perbaikan taraf hidup pada nasabah, sehingga bukan tidak mungkin nasabah tersebut didorong untuk menjadi penanam dana (dalam bentuk tabungan) yang bisa meningkatkan aset institusi.
- adanya kesempatan untuk mengelola tabungan nasabah sehingga bisa menjadi sumber pendanaan bagi masyarakat lain yang membutuhkan.
- dana pengelolaan tabungan pada entitas ini juga turut membantu meningkatkan perekonomian secara agregat, terutama pada saat terjadi seret likuiditas.
Sedangkan pendapat yang pesimistis dengan eksistensi microfinance di Indonesia memiliki argumentasi sebagai berikut:
- layanan pinjaman (microfinance loans) yang disediakan oleh entitas ini pada praktiknya bukan hanya ditujukan untuk permodalan usaha atau keperluan pendidikan, namun juga untuk hal lain yang tidak produktif; dengan kata lain terjadi penyimpangan (miss-allocation), terlebih tidak adanya sistem pengawasan atas pemanfaatan dana tersebut. Keadaan ini justru membahayakan kondisi perekonomian nasabah, yang notabene adalah masyarakat kelas bawah.
- adanya biaya-biaya operasional yang secara potensial bisa menggerus aset yang dimiliki entitas microfinance. Hal ini diperparah dengan minimnya inovasi dalam rangka meningkatkan struktur permodalan.
- adanya kekhawatiran bahwa institusi microfinance ini pada akhirnya akan mengalami komersialisasi.
Sebagai simpulan, apabila sesuai dengan misi utamanya, microfinance di Indonesia tidak diragukan lagi keandalannya sebagai sumber pendanaan alternatif yang dapat dijangkau oleh masyarakat kelas bawah. Selanjutnya, agar bisa berkembang secara optimal, entitas ini mesti memiliki permodalan yang cukup serta teknologi yang mendukung, sehingga mampu beroperasi secara efektif.
Terakhir, mengingat misi mulia yang diemban oleh entitas microfinance, maka dukungan pemerintah, baik berupa regulasi maupun infrastruktrur, menjadi sangat penting demi terwujudnya tujuan-tujuan tersebut.
Platform Microfinance Terbaik di Indonesia
PT Amartha Mikro Fintek adalah salah satu perusahaan teknologi finansial microfinance di Indonesia terbaik saat ini. Perusahaan tersebut menyediakan situs web yang menghubungkan pendana dalam melakukan pendanaan usaha mikro dan kecil di Indonesia.
Adapun, Amartha didirikan sejak 2010 oleh Andi Taufan. Saat awal berdiri, perusahaan ini masih berbentuk lembaga keuangan mikro. Seiring berjalannya waktu, perusahaan ini berkembang dan resmi bertransformasi menjadi perusahaan fintech peer to peer lending pada 2016 dan telah mengantongi izin dari Otoritas Jasa Keuangan.
Dikutip dari laman resminya, Amartha telah menyalurkan pendanaan hingga Rp2,38 triliun dan memberdayakan 502.852 pengusaha mikro. Perusahaan ini pun tergolong memiliki tren kegagalan pengembalian pinjaman yang sangat rendah, di mana TKB 90 mencapai 99,49 persen. Perusahaan ini memiliki fokus pembiayaan yang diarahkan kepada pelaku usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) serta perempuan terutama di perdesaan.
Dalam keterangan di laman resminya, para pendana Amartha pun mendapatkan keamanan atau manajemen risiko dengan implementasi upaya sistem tanggung renteng, dengan potensi keuntungan hingga 15 persen per tahun.
Di sisi lain, besaran pinjaman yang diberikan Amartha berkisar antara Rp3 juta sampai Rp15 juta dengan tenor enam bulan hingga satu tahun.